Jakarta – Fenomena penggunaan simbol bajak laut yang semakin marak di ruang publik, terutama di kalangan anak muda dan komunitas penggemar budaya populer, menjadi perhatian tersendiri bagi berbagai pihak. Simbol yang identik dengan bendera tengkorak dan tulang bersilang itu kerap diasosiasikan dengan keberanian, kebebasan, dan petualangan. Namun, dalam konteks kehidupan berbangsa, penggunaan simbol tersebut perlu disikapi secara bijak agar tidak mengaburkan makna serta identitas nasionalisme yang telah tertanam dalam jati diri bangsa Indonesia.
Staf Khusus (Stafsus) Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Romo Haryatmoko menilai fenomena ini tidak semata-mata sebagai tindakan iseng atau penghinaan terhadap simbol negara, tetapi sebagai bentuk ekspresi simbolik generasi muda yang mencerminkan keresahan sosial.
“Fiksi seperti One Piece bukan sekadar hiburan. Bagi penggemarnya, ini adalah narasi tentang perlawanan terhadap ketidakadilan dan kekuasaan yang menindas. Dalam situasi ketika ruang formal terasa kurang menampung kritik, budaya populer menjadi kanal alternatif untuk menyampaikan pesan sosial,” ungkap Romo.
Namun demikian, ia menekankan pentingnya kepekaan terhadap simbol-simbol nasional, terutama Bendera Merah Putih yang bukan sekadar kain, melainkan lambang pengorbanan, identitas nasional, dan kedaulatan bangsa.
“Bendera Merah Putih adalah simbol sakral. Jika ada yang mengibarkan bendera lain pada momen sakral seperti Hari Kemerdekaan, banyak pihak bisa menganggapnya sebagai bentuk penodaan, bukan hanya ekspresi pribadi,” imbuhnya.
Di sisi lain, penggunaan simbol bajak laut secara sembarangan berpotensi menimbulkan persepsi keliru, terutama jika dikaitkan dengan simbol negara. Oleh sebab itu, sikap bijak sangat diperlukan agar penggunaan simbol-simbol budaya asing tetap berada pada jalurnya sebagai bagian dari hiburan dan kreativitas, tanpa menggeser posisi simbol nasional sebagai penanda identitas kolektif bangsa.
Pakar Hukum Tata Negara Dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Dr. King Faisal Sulaiman, S.H., LLM., menegaskan bahwa ekspresi budaya dan kreativitas komunitas merupakan bagian dari kebebasan berekspresi, selama tidak disalahgunakan untuk melecehkan simbol negara atau merusak kesakralan momen kenegaraan.
“Kalau hanya sebatas ikut tren anak muda, ekspresi komunitas, atau motif hiburan, itu sah-sah saja. Bisa jadi hanya euforia gaya hidup penggemar One Piece, dan itu masih dalam batas wajar. Anggap saja ada sekelompok komunitas anak muda, terutama yang ingin merefleksikan perayaan 17 Agustus dengan cara yang nyentrik agar tampil beda,” ujarnya.
Faisal merujuk pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, yang secara tegas melarang tindakan merendahkan, menggantikan, atau menandingi bendera Merah Putih, terutama dalam konteks publik dan kenegaraan. Menurutnya, simbol negara adalah bagian dari martabat konstitusional yang harus dilindungi.
“Negara tidak boleh membiarkan simbol asing menggantikan atau disejajarkan dengan simbol resmi negara. Ini bukan hanya soal aturan hukum, tapi menyangkut kesadaran ideologis dan kehormatan nasional,” tandasnya.
*
[edRW]