Tokoh NU dan Muhammadiyah Dukung Soeharto Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional

oleh -1 Dilihat
banner 468x60

Oleh : Dika Ramadhan )*

Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, memunculkan beragam dukungan yang sangat kuat dari berbagai elemen dan lapisan masyarakat.

banner 336x280

Dukungan besar tersebut, termasuk datang dari dua ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, yang memperlihatkan sikap serupa dan sepandangan, yakni mendukung penuh adanya langkah pemerintah untuk memberikan penghargaan gelar pahlawan nasional tersebut.

Dukungan ini jelas semakin memperlihatkan bagaimana semangat rekonsiliasi sejarah dan penghargaan terhadap jasa besar dari para tokoh bangsa dalam perjalanan panjang Republik Indonesia.

Dr. Makroen Sanjaya, Pimpinan Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah, menilai bahwa Soeharto sebagai figur yang memiliki kontribusi sangat besar terhadap pembangunan dan kemajuan bangsa ini.

Ia memandang bahwa kiprah Soeharto bukan hanya berhenti pada masa kepresidenan saat beliau menjabat saja, tetapi juga terbukti secara nyata sejak perjuangan fisik kemerdekaan Indonesia berlangsung.

Soeharto, dalam pandangan Makroen Sanjaya, adalah sosok yang terlibat secara langsung dalam perang gerilya dan memainkan peran strategis dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, yang menjadi momentum penting pengakuan kedaulatan Indonesia di mata dunia.

Makroen menekankan bahwa Muhammadiyah menghormati jasa dan dedikasi Soeharto terhadap negara. Dalam pandangan organisasi tersebut, Soeharto telah membawa Indonesia menuju era pembangunan yang lebih terarah melalui kebijakan-kebijakan strategis seperti Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).

Ia juga menyoroti capaian swasembada beras pada dekade 1980-an, keberhasilan program Keluarga Berencana (KB), serta kestabilan ekonomi dan politik yang berhasil dipertahankan selama lebih dari tiga dekade masa pemerintahannya.

Menurut Makroen, pandangan Muhammadiyah terhadap sosok Soeharto bukan muncul secara tiba-tiba. Sikap tersebut sejalan dengan prinsip penghormatan terhadap tokoh bangsa sebagaimana pernah ditunjukkan pada tahun 2012, ketika Muhammadiyah juga mendukung pengusulan Presiden pertama RI, Sukarno, sebagai Pahlawan Nasional.

Dalam pandangan Muhammadiyah, baik Soekarno maupun Soeharto memiliki kontribusi besar dan tak terhapus dari catatan sejarah bangsa. Keduanya sama-sama memberi warna penting bagi perjalanan republik, satu di masa perjuangan, satu lagi di masa pembangunan.

Ia juga menyinggung pidato Presiden Prabowo Subianto yang menyerukan pentingnya menghormati jasa para pendahulu. Makroen melihat semangat tersebut sejalan dengan nilai-nilai Muhammadiyah, yang menempatkan penghormatan terhadap jasa tokoh bangsa sebagai bagian dari pendidikan karakter kebangsaan.

Ia mengingatkan bahwa Soeharto memiliki keterikatan historis dengan Muhammadiyah. Dalam pembukaan Muktamar Muhammadiyah ke-43 di Banda Aceh pada 1995, Soeharto bahkan pernah menyebut dirinya sebagai “bibit Muhammadiyah.” Pengakuan tersebut mencerminkan adanya hubungan ideologis dan historis antara Soeharto dan organisasi Islam tertua di Indonesia itu.

Dari sisi Nahdlatul Ulama, pandangan senada disampaikan oleh KH Arif Fahrudin, tokoh NU sekaligus Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ia berpandangan bahwa Soeharto layak dianugerahi gelar Pahlawan Nasional karena kontribusinya yang besar dalam menjaga stabilitas politik dan ekonomi bangsa. Dalam penilaiannya, masa kepemimpinan Soeharto menandai era kebangkitan ekonomi nasional yang membawa Indonesia dikenal sebagai salah satu kekuatan baru di Asia.

KH Arif menilai Soeharto bukan hanya berperan dalam pembangunan ekonomi, tetapi juga memberikan perhatian terhadap kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat. Ia menegaskan bahwa sejarah harus dibaca secara utuh, bukan dipisahkan antara keberhasilan dan kekurangan. Pandangan tersebut berangkat dari keyakinan bahwa tidak ada pemimpin yang sempurna, namun jasa dan pengabdian tetap layak dihormati.

Selain menyoroti Soeharto, KH Arif juga menyebutkan bahwa Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, patut mendapatkan penghargaan serupa karena peran besarnya dalam memperjuangkan demokrasi dan rekonsiliasi nasional pascareformasi. Bagi Arif, kedua tokoh ini, meski hidup dan berjuang di fase sejarah yang berbeda, sama-sama memberikan kontribusi penting bagi arah perjalanan bangsa.

Ia juga menilai keputusan pemerintah untuk memproses usulan nama Soeharto sebagai calon Pahlawan Nasional sebagai langkah yang menunjukkan kedewasaan politik. Menurutnya, keputusan tersebut mencerminkan sikap kenegarawanan Presiden Prabowo Subianto yang berupaya merangkul seluruh elemen bangsa dan mengembalikan semangat persatuan. Arif mengajak masyarakat untuk tidak terus-menerus mengungkit masa lalu, melainkan menempatkan sejarah sebagai cermin bagi masa depan.

Dukungan dari dua ormas Islam besar ini menandai babak baru dalam cara bangsa menilai sejarahnya. Pengakuan terhadap jasa Soeharto tidak berarti menutup mata terhadap kekurangan masa lalu, tetapi menjadi bentuk penghargaan terhadap kerja keras dan dedikasi seorang pemimpin dalam mengabdi kepada bangsa.

Dalam konteks kebangsaan yang semakin dinamis, sikap apresiatif terhadap jasa tokoh-tokoh besar menjadi penting agar generasi penerus dapat belajar menghargai proses panjang berdirinya negara.

Rekonsiliasi sejarah bukan hanya tentang siapa yang benar dan siapa yang salah, melainkan tentang kemampuan bangsa untuk menghormati perjuangan setiap anak bangsa yang berkontribusi terhadap kemerdekaan dan kemajuan Indonesia.

Dalam semangat itu, dukungan NU dan Muhammadiyah terhadap gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto dapat dimaknai sebagai bentuk kedewasaan kolektif, bahwa penghargaan terhadap jasa masa lalu adalah pondasi untuk melangkah menuju masa depan yang lebih bersatu dan kuat. (*)

)* Penulis adalah pengamat kebijakan Publik

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *