Mendukung Penindakan Tegas terhadap Jaringan Buzzer Anti UU TNI

oleh -1 Dilihat
banner 468x60

Oleh : Rizky Ardiansyah )*

Kualitas demokrasi modern tidak hanya diukur dari keberadaan lembaga-lembaga formal, melainkan juga dari sehatnya ekosistem informasi publik. Ketika ruang digital dibajak oleh kelompok tertentu untuk menyebar kebohongan dan membentuk opini palsu, maka yang terancam bukan hanya reputasi suatu institusi, melainkan kestabilan bangsa secara keseluruhan. Dalam konteks inilah, langkah penegak hukum dalam mengungkap jaringan penyebar konten negatif terkait Revisi UU TNI patut diapresiasi sebagai bentuk perlindungan terhadap tatanan demokrasi dan keamanan nasional.

banner 336x280

Di era digital yang berkembang pesat, informasi mengalir deras tanpa penyaring yang memadai. Kemudahan akses terhadap media sosial dan platform daring telah mengubah cara publik memahami isu-isu kebangsaan. Namun, di balik potensi besar itu, tersembunyi pula risiko yang tidak kalah serius: penyebaran informasi sesat yang terorganisir dan bersifat destruktif terhadap institusi negara.

Kasus terkini yang menyeret jaringan buzzer dalam penyebaran konten negatif mengenai Revisi UU TNI memperlihatkan bahwa ruang digital tidak sepenuhnya netral. Ia rentan digunakan sebagai alat propaganda untuk membangun persepsi negatif, melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap negara, dan menumbuhkan ketidakstabilan politik yang bersifat sistemik.

Pengakuan dari salah satu tersangka, Marcella Santoso, dalam konferensi pers yang digelar Kejaksaan Agung, menjadi titik terang penting dalam mengurai jaringan ini. Ia menyampaikan penyesalan atas keterlibatannya dalam penyusunan dan penyebaran narasi-narasi provokatif yang menyasar institusi-institusi strategis negara. Permintaan maaf itu juga menyiratkan bahwa aksinya bukan dilakukan secara pribadi semata, melainkan sebagai bagian dari sebuah gerakan yang lebih besar dan terstruktur.

Sementara itu, dari pihak militer, Kapuspen TNI, Mayjen Kristomei Sianturi menegaskan bahwa TNI mendukung penuh proses hukum terhadap penyebaran konten negatif yang mengganggu kepercayaan publik. Ia menilai bahwa segala bentuk tindakan yang dapat merusak citra institusi negara atau menggoyahkan stabilitas nasional harus ditanggapi secara profesional dan berdasarkan prinsip hukum yang berlaku. TNI juga berkomitmen menjaga sinergi dengan lembaga penegak hukum dalam mengungkap jaringan dan aliran dana di balik kampanye digital “Indonesia Gelap” serta penolakan terhadap Revisi UU TNI.

Lebih jauh, Kristomei mengajak masyarakat agar tetap waspada dan cermat dalam menghadapi arus informasi. Ia menekankan pentingnya sikap kritis terhadap opini-opini yang tidak berdasar, serta menghindari penyebaran informasi yang belum terverifikasi. Pernyataan ini memperlihatkan bahwa pendekatan yang ditempuh tidak hanya bersifat represif, tetapi juga preventif dengan melibatkan edukasi publik.

Dari sisi penegakan hukum, Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, menjelaskan bahwa hingga saat ini telah ditetapkan empat tersangka, termasuk Marcella. Ia menyampaikan bahwa mereka diduga terlibat dalam upaya perintangan penyidikan terhadap kasus korupsi ekspor minyak sawit mentah (CPO) senilai lebih dari Rp11 triliun. Dalam proses investigasi, ditemukan pula bukti elektronik yang mengarah pada dugaan keterlibatan dua koordinator buzzer yang menerima dana ratusan juta rupiah untuk menyebarluaskan konten negatif terhadap Kejaksaan dan institusi lainnya.

Menurut Qohar, serangan digital itu tidak hanya menyasar isu kebijakan, tetapi juga kehidupan pribadi pejabat tinggi negara. Tujuannya diyakini untuk melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga penegak hukum yang sedang menangani kasus besar tersebut. Dengan kata lain, disinformasi digunakan sebagai senjata untuk mengaburkan upaya penegakan hukum dan menciptakan kebingungan publik.

Langkah tegas yang diambil oleh Kejaksaan Agung dan didukung oleh TNI menunjukkan keberanian negara dalam menghadapi tantangan era informasi. Penyalahgunaan kebebasan berekspresi untuk menyebarkan fitnah dan kebohongan terstruktur bukanlah praktik demokrasi, melainkan bentuk sabotase terhadap sistem hukum dan ketertiban sosial.

Pembongkaran jaringan buzzer ini perlu dilihat sebagai langkah strategis, bukan semata tindakan reaktif. Ini merupakan bagian dari pembentukan tata kelola informasi yang sehat di ruang digital. Literasi media harus menjadi fondasi masyarakat agar tidak mudah dipengaruhi oleh narasi menyesatkan. Keberhasilan menindak pelaku penyebar kebencian digital juga akan menciptakan efek jera dan memperkuat kepercayaan publik terhadap institusi hukum.

Penegakan hukum terhadap kampanye provokatif di media sosial sejalan dengan komitmen menjaga supremasi hukum dan kestabilan negara. Demokrasi digital hanya akan berjalan baik jika ruang publik dilindungi dari penyalahgunaan dan manipulasi. Dalam konteks ini, peran serta semua elemen bangsa, termasuk aparat, masyarakat, dan media, menjadi sangat penting untuk membentengi ruang informasi dari infiltrasi yang merugikan.

Sinergi antara TNI, Kepolisian, dan Kejaksaan, seperti yang terlihat dalam penanganan kasus ini, memberikan harapan bahwa negara hadir dan tegas dalam menghadapi segala bentuk ancaman terhadap kedaulatan informasi. Penguatan sistem deteksi dini terhadap kampanye digital yang merugikan negara harus menjadi bagian dari kebijakan keamanan nasional.

Langkah hukum terhadap jaringan buzzer konten negatif tidak hanya menyasar pelaku, tetapi juga menyampaikan pesan kuat bahwa ruang digital Indonesia harus dibersihkan dari penyimpangan yang merusak tatanan sosial dan hukum. Dalam jangka panjang, penegakan hukum yang adil dan terukur akan membentuk kultur baru di ruang publik—kultur yang menjunjung kejujuran, tanggung jawab, dan kepentingan nasional di atas segalanya.

)* Penulis merupakan Pegiat Literasi Digital

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *