Oleh : Andhika Rachma *)
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan bahwa tidak ada penerbitan izin tambang baru di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya. Pernyataan ini menjadi respons terhadap kekhawatiran publik dan gelombang penolakan dari masyarakat sipil serta aktivis lingkungan yang menilai bahwa kawasan konservasi seperti Raja Ampat semestinya dilindungi secara ketat dari aktivitas ekstraktif.
Raja Ampat yang dikenal sebagai salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia, telah lama menjadi ikon konservasi global sekaligus kebanggaan nasional dalam sektor ekowisata dan pelestarian lingkungan. Komitmen pemerintah untuk menjaga status tersebut diperkuat dengan sikap tegas bahwa wilayah ini tidak akan dikorbankan demi eksploitasi pertambangan.
Dalam keterangan resmi, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa tidak ada izin usaha pertambangan (IUP) baru yang diterbitkan untuk wilayah Raja Ampat, baik melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 maupun kebijakan turunannya. Penegasan ini penting untuk meredam kesimpangsiuran informasi yang beredar di publik, termasuk kekhawatiran akan masuknya investasi tambang yang dapat mengancam integritas ekologis kawasan.
Pemerintah juga memastikan bahwa seluruh kebijakan yang menyangkut pengelolaan sumber daya alam tetap mengedepankan asas keberlanjutan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat yang telah hidup secara turun-temurun di kawasan tersebut.
Kontroversi terkait potensi pembukaan tambang di Raja Ampat sempat mencuat seiring dengan terbitnya beleid baru yang memberikan kewenangan kepada organisasi keagamaan untuk mengelola wilayah pertambangan. Walaupun kebijakan ini tidak secara eksplisit menyebut Raja Ampat, namun kekhawatiran publik muncul akibat potensi perluasan interpretasi wilayah yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk membuka lahan baru.
Pemerintah menyatakan bahwa wilayah Raja Ampat saat ini telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan dan daratan berdasarkan regulasi nasional dan internasional, sehingga secara hukum tidak memungkinkan untuk diterbitkan izin tambang baru di wilayah tersebut.
Sebagai kawasan yang telah mendapatkan pengakuan dari UNESCO dan menjadi bagian dari Coral Triangle Initiative, Raja Ampat memegang peran strategis dalam upaya global mengatasi krisis iklim dan menjaga ketahanan ekosistem laut.
Keberadaan spesies endemik, terumbu karang, serta sistem sosial masyarakat adat yang harmonis dengan alam menjadikan kawasan ini sebagai laboratorium hidup bagi studi keanekaragaman hayati dan perubahan iklim. Oleh sebab itu, pemerintah menyadari bahwa membuka ruang bagi pertambangan di wilayah seperti Raja Ampat akan menjadi langkah mundur yang mencederai komitmen internasional Indonesia dalam menjaga keberlanjutan lingkungan hidup.
Pemerintah daerah Papua Barat Daya juga turut menyuarakan penolakan terhadap kemungkinan pembukaan tambang baru. Gubernur dan bupati setempat menegaskan bahwa mereka tidak akan memberikan rekomendasi atau persetujuan terhadap segala bentuk eksploitasi pertambangan di Raja Ampat. Pernyataan ini menunjukkan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam menjaga kawasan ini tetap lestari.
Suara-suara dari masyarakat adat yang tergabung dalam berbagai dewan adat dan lembaga lokal juga secara konsisten menolak eksploitasi yang bisa merusak warisan leluhur mereka. Bagi mereka, tanah, laut, dan alam di Raja Ampat bukan hanya sumber kehidupan, tetapi juga bagian dari identitas kultural yang tidak bisa dipisahkan.
Di sisi lain, kalangan aktivis lingkungan dan akademisi mendorong pemerintah untuk melangkah lebih jauh dengan mengeluarkan moratorium permanen terhadap segala bentuk pertambangan di Raja Ampat. Mereka menilai bahwa selama masih ada celah dalam regulasi, potensi ancaman terhadap lingkungan akan terus ada.
Anggota Komisi VI DPR, Mufti Anam, menegaskan bahwa izin tambang seharusnya tidak diberi lagi di Raja Ampat, karena pulau kecil dengan ekosistem kaya dilarang untuk penambangan. Pemerintah pun diminta untuk memperkuat pengawasan dan memperjelas peta zonasi wilayah lindung agar tidak terjadi tumpang tindih dengan kepentingan ekonomi yang merusak. Langkah ini dinilai krusial untuk memberikan kepastian hukum serta melindungi investasi sosial dan budaya yang selama ini telah dibangun oleh masyarakat dan pemerintah dalam menjaga Raja Ampat sebagai destinasi wisata berkelanjutan.
Sikap tegas pemerintah ini juga mendapat apresiasi dari komunitas internasional. Berbagai organisasi lingkungan dunia seperti WWF, Conservation International, dan Coral Triangle Center menyambut baik penegasan bahwa Raja Ampat tidak akan dibuka untuk aktivitas pertambangan.
Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan diharapkan terus memperkuat sinergi dalam pengelolaan kawasan Raja Ampat. Pendidikan dan pemberdayaan masyarakat lokal, peningkatan kapasitas aparatur pengawas lingkungan, serta promosi ekowisata berbasis komunitas harus menjadi prioritas agar masyarakat tidak hanya menjadi penjaga lingkungan, tetapi juga penerima manfaat utama dari keberlanjutan kawasan.
Dengan langkah ini, pemerintah Indonesia kembali menegaskan bahwa pembangunan ekonomi tidak harus bertentangan dengan kelestarian alam. Raja Ampat adalah simbol keberhasilan harmoni antara manusia dan lingkungan. Dan dengan tidak diberikannya izin tambang baru di wilayah ini, pemerintah menunjukkan bahwa keberpihakan pada lingkungan dan masyarakat adat masih menjadi fondasi utama dalam kebijakan pembangunan nasional. Ke depan, sikap tegas seperti ini perlu diperluas ke kawasan-kawasan rawan lainnya agar seluruh kekayaan alam Indonesia dapat dijaga untuk generasi mendatang.
)* Pengamat Kebijakan Isu Strategis