Oleh: Alexandro Dimitri*)
Pemerintahan di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto terus menunjukkan komitmen nyata dalam mewujudkan salah satu janji besar bagi masyarakat: hunian yang layak, terjangkau, dan merata. Dengan situasi ekonomi nasional yang mulai stabil dan tekanan sosial yang makin meningkat terhadap ketersediaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), keputusan untuk memperluas cakupan dan meningkatkan anggaran program subsidi rumah pada tahun 2026 bukan saja tepat, melainkan sangat strategis.
Presiden Prabowo menegaskan bahwa sektor perumahan merupakan motor dari pertumbuhan ekonomi, sambil mengingat bahwa pembangunan hunian tak hanya soal memberi atap bagi rakyat, melainkan juga memberi harapan dan perlindungan nyata. Dalam sebuah acara akad massal untuk 26 ribu unit rumah subsidi, Presiden menyampaikan bahwa target besar seperti 3 juta rumah bukanlah retorika belaka, melainkan bagian dari upaya transformasi yang digerakkan pemerintah secara serius.
Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait (Ara), mengungkapkan bahwa alokasi anggaran kementeriannya dirancang naik sangat signifikan untuk tahun anggaran 2026. Ia menyebut bahwa sejumlah program strategis akan memperoleh skala yang jauh lebih besar. Ara menyatakan bahwa kuota rumah subsidi sedianya ditingkatkan dari 200.000 unit tahun ini menjadi target 350.000 unit pada tahun mendatang, didampingi program renovasi yang juga naik tajam dari 45.000 unit menjadi 400.000 unit. Ia menekankan bahwa peningkatan anggaran harus dibarengi penguatan tata kelola, transparansi, dan efektivitas penyerapan agar program benar-benar berdampak.
Sedangkan Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho, menegaskan bahwa lembaganya tengah menyiapkan perluasan skema penyaluran subsidi melalui dana FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan). Skema yang akan diperluas mencakup sewa-beli (rent-to-own), pembangunan mandiri bagi masyarakat yang sudah memiliki tanah, serta rumah susun subsidi di area perkotaan. Heru menyampaikan bahwa realisasi FLPP hingga awal November 2025 telah mencapai lebih dari 213.630 unit dengan nilai Rp26,51 triliun, sekitar 61 % dari target 350.000 unit untuk tahun ini.
Pentingnya langkah ini tak bisa dianggap terpisah dari kondisi backlog kebutuhan rumah layak untuk rakyat berpenghasilan rendah di Indonesia masih sangat besar. Pemerintah mencatat backlog sebanyak sekitar 9,9 juta unit rumah untuk MBR dan lebih dari 26 juta rumah tidak layak huni. Terlebih, perubahan demografi, urbanisasi, dan tekanan harga tanah serta material terus menuntut intervensi yang lebih agresif.
Dengan demikian, peningkatan anggaran dan perluasan skema subsidi menjadi sangat relevan. Program rumah subsidi bukan hanya menyelesaikan persoalan sosial dasar tetapi juga menjadi penggerak ekonomi, seperti pembangunan perumahan menyerap tenaga kerja, memicu industri bahan bangunan, dan memperkuat rantai nilai di sektor konstruksi. Presiden Prabowo memang menekankan bahwa pembangunan perumahan selain memenuhi kebutuhan yang sangat penting untuk rakyat yang berpenghasilan rendah, juga menjadi motor dari pertumbuhan ekonomi nasional.
Momentum untuk mengambil langkah maju terbuka lebar. Usulan anggaran yang diajukan oleh Kementerian PKP, misalnya, telah mencapai usulan sebesar Rp49,854 triliun untuk TA 2026. Dari jumlah tersebut, mayoritas dialokasikan untuk program yang bersentuhan langsung dengan masyarakat MBR, seperti Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) yang anggarannya naik 773,5 % dari Rp1,02 triliun menjadi Rp8,9 triliun untuk sekitar 400.000 unit rumah pada 2026. Sementara itu, target pembangunan rumah subsidi melalui skema FLPP dan lainnya terus didorong agar tercapai secara nasional.
Tentu saja, tantangan tetap ada. Pengujian keberhasilan program tergantung pada kapasitas penyerapan anggaran, daya kerja pengembang, kesiapan perbankan penyalur, serta tata kelola yang bersih dan tepat sasaran. Menteri Ara sendiri telah menekankan bahwa dengan anggaran yang semakin besar, maka pengawasan dan akuntabilitas harus makin ketat. BP Tapera juga menunjukkan langkah konkret dalam percepatan penyaluran melalui digitalisasi, perluasan bank penyalur, sinergi dengan asosiasi pengembang, dan pemantauan performa penyaluran.
Pemerintah tidak sekadar memasang target tinggi seperti yang disampaikan Presiden Prabowo, namun juga memperkuat instrumen pelaksanaannya melalui kementerian terkait dan lembaga yang berwenang. Jika semuanya dilaksanakan dengan baik, maka bonus sosial-ekonomi akan sangat terasa, dimana masyarakat mendapatkan rumah sendiri/kepemilikan, pertumbuhan sektor perumahan meningkat, dan ketimpangan regional bisa ditekan dengan penyebaran program ke seluruh provinsi.
Beberapa hal tetap layak mendapat perhatian khusus agar program ini berjalan optimal, seperti memperkuat koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, memastikan skema sewa-beli bagi masyarakat berpenghasilan informal dapat terlaksana dengan baik, menjaga kualitas pembangunan agar rumah subsidi tidak kalah dengan rumah komersial, serta mengawal pemerataan distribusi ke daerah-daerah tertinggal. Jika seluruh aspek tersebut terjaga, momentum 2026 berpotensi menjadi titik balik penting menuju terwujudnya hunian layak bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian, dukungan penuh terhadap arah kebijakan ini sangat tepat diberikan. Peningkatan anggaran untuk memperluas cakupan program rumah subsidi adalah langkah konkret pemerintahan Presiden Prabowo yang berpihak pada rakyat dan masa depan bangsa. Kebijakan ini semakin menegaskan bahwa negara hadir secara nyata untuk memastikan setiap warga mendapat kesempatan memiliki hunian yang layak sebagai sebuah fondasi penting bagi kesejahteraan dan keadilan sosial.
*) Penulis merupakan Pengamat Ekonomi











