Surabaya – Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia, fenomena pengibaran bendera bajak laut ala “One Piece” di berbagai daerah menuai sorotan. Sejumlah kepala daerah dan akademisi mengingatkan agar masyarakat tidak terjebak dalam euforia tren budaya pop yang berpotensi mengaburkan makna nasionalisme.
Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, menegaskan bahwa bulan kemerdekaan merupakan momentum penting untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air. Ia menilai pengibaran Bendera Merah Putih secara serentak di berbagai wilayah akan menghidupkan semangat persatuan dan penghormatan kepada para pahlawan.
“Pengibaran Bendera Merah Putih di setiap sudut wilayah adalah bentuk nyata penghormatan terhadap perjuangan para pahlawan. Jangan ada pengibaran bendera One Piece, apalagi jika disandingkan dengan Merah Putih yang sakral,” ujarnya. Khofifah menekankan bahwa spirit kemerdekaan harus dijaga melalui tindakan konkret, bukan sekadar simbolis atau ikut tren sesaat.
Hal senada diungkapkan Gubernur Kalimantan Tengah, Agustiar Sabran. Menurutnya, penggunaan bendera fiksi tidak sejalan dengan nilai nasionalisme dan bisa memicu kesalahpahaman tentang identitas bangsa. “Tidak ada negara di atas negara. Merah Putih adalah identitas kita. Bendera One Piece tidak boleh dikibarkan,” tegasnya.
Agustiar mengingatkan generasi muda agar menjunjung tinggi simbol negara dan tidak menggantinya dengan atribut yang dapat dimaknai sebagai representasi ideologi lain. “Silakan berkreasi, berekspresi, tapi jangan sampai mengaburkan makna nasionalisme. Merah Putih adalah harga mati,” tandasnya.
Dari sudut pandang akademisi, fenomena ini mencerminkan adanya pergeseran cara generasi muda dalam memaknai simbol perjuangan. Supangat, akademisi dari Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, menilai maraknya tren bendera bajak laut bukan sekadar ekspresi budaya pop, tetapi juga cerminan pergeseran nilai di tengah masyarakat.
“Fenomena ini jelas lebih dari sekadar tren. Di balik kreativitas, ada kenyataan getir bahwa nasionalisme perlahan terdorong ke pinggir oleh narasi fiksi, algoritma media sosial, dan kegandrungan akan viralitas,” jelasnya.
Supangat mengingatkan bahwa Bendera Merah Putih bukan sekadar simbol visual, tetapi identitas negara yang memiliki nilai historis dan emosional tinggi. Ia menegaskan adanya batas yang tidak boleh dilanggar dalam berekspresi.
“Ketika bendera fiksi dikibarkan sejajar dengan lambang negara, atau digunakan untuk sindiran sosial, itu bukan lagi sekadar ekspresi. Ini bisa mengaburkan nilai nasionalisme. Kritik sosial boleh, tapi jangan sampai nyawa simbol negara dimatikan demi konten trending,” ujarnya.
Dengan HUT RI yang tinggal hitungan hari, para tokoh ini sepakat bahwa masyarakat, terutama generasi muda, perlu kembali menempatkan Bendera Merah Putih di posisi terhormat. Euforia budaya pop dan kreativitas digital harus tetap selaras dengan semangat kebangsaan. Momentum kemerdekaan diharapkan menjadi pengingat bersama bahwa di atas semua tren dan hiburan, identitas bangsa adalah warisan yang harus dijaga. [-red]
[ed]